Masjid Megah Tapi Gak Ramah, Emang Boleh Gitu?
![]() |
| Ilustrasi seorang musafir tidur di dalam masjid. dok. Chat GPT AI |
Masjid megah makin banyak, tapi justru terasa tertutup dan tak ramah. Padahal di zaman Nabi, masjid terbuka untuk semua orang.
Kalau kita balik ke zaman Rasulullah SAW, suasana masjid itu hangat banget. Masjid bukan cuma tempat buat salat berjamaah atau zikir, tapi juga jadi pusat kehidupan sosial umat Islam. Masjid Nabawi di Madinah, misalnya, selalu terbuka untuk siapa pun, tanpa batasan status, golongan, bahkan agama. Orang yang belum masuk Islam pun boleh datang, duduk, atau bahkan menginap di sana.
Salah satu kisah yang menarik datang dari Thamamah bin Utsal, seorang sahabat yang sebelum masuk Islam sering tidur di Masjid Nabawi. Rasulullah SAW tidak pernah melarangnya. Beliau membiarkan Thamamah bermalam di masjid hingga akhirnya hatinya tersentuh dan ia memilih untuk masuk Islam. Dari peristiwa inilah para ulama, termasuk Imam Syafii, berpendapat bahwa tidur di dalam masjid hukumnya mubah (boleh).
Logikanya sederhana: kalau non-muslim saja boleh tidur di masjid pada masa Nabi, apalagi seorang muslim. Artinya, masjid bukan cuma simbol kesucian, tapi juga tempat perlindungan bagi siapa pun yang butuh ruang aman dan damai. Itulah semangat yang dibangun Rasulullah SAW — masjid sebagai rumah Allah yang benar-benar ramah untuk semua.
Masjid Zaman Sekarang: Indah, Tapi Terkunci Rapat
Sekarang coba kita tengok ke sekitar kita. Banyak masjid berdiri megah dan modern. Kubahnya tinggi, marmernya mengilap, karpetnya empuk, dan fasilitasnya serba canggih. Tapi ironisnya, banyak di antaranya yang justru tertutup dan terkesan eksklusif. Setelah azan dan salat berjamaah selesai, pintu langsung dikunci. Orang yang datang di luar jam salat nggak bisa masuk, bahkan cuma untuk istirahat atau baca Al-Qur’an sebentar.
Anak-anak yang main di serambi masjid sering dimarahi. Orang yang tertidur karena kelelahan diingatkan, bahkan ada yang diusir. Padahal dulu, Rasulullah SAW dan para sahabat memperlakukan masjid dengan penuh kasih. Masjid bukan tempat yang sakral secara sempit, tapi ruang sosial yang hidup dan menyatukan.
Ada riwayat yang menarik, dari Aisyah ra., yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah bergulat dengan sahabat-sahabatnya di dalam masjid. Waktu itu Umar bin Khattab sempat tidak setuju, tapi setelah tahu bahwa Nabi sendiri ikut bergulat, Umar akhirnya memaklumi. Dari sini jelas banget bahwa masjid pada masa Nabi bukan tempat yang “kaku”, tapi ruang yang fleksibel dan terbuka untuk berbagai aktivitas positif.
Sekarang, sayangnya, banyak masjid justru lebih fokus pada citra suci daripada fungsi sosialnya. Padahal, tidak ada satu pun dalil Al-Qur’an maupun hadits yang membatasi fungsi masjid hanya untuk salat dan zikir. Ketika masjid kehilangan ruh keramahannya, ia bukan lagi rumah Allah yang terbuka bagi umat, melainkan sekadar bangunan mewah yang sunyi.
Dalil Ulama: Tidur di Masjid Itu Boleh, Bukan Dosa
Kita juga bisa belajar dari kisah Ali bin Abi Thalib ra., menantu Rasulullah SAW. Suatu hari Nabi berkunjung ke rumah putrinya, Fatimah ra., tapi Ali tidak ada di rumah. Fatimah bercerita bahwa ada sedikit masalah di antara mereka, jadi Ali keluar untuk menenangkan diri. Rasulullah kemudian menyuruh sahabat mencari Ali, dan ternyata Ali tertidur di dalam masjid, tubuh dan pakaiannya berdebu.
Melihat hal itu, Rasulullah SAW tidak menegur atau melarangnya. Justru beliau membangunkan Ali sambil berkata dengan lembut,
“Bangunlah, wahai Abat Turab (Bapak yang berlumur debu)!”
Ungkapan itu bukan teguran, tapi sapaan penuh kasih. Dari kisah ini, para ulama berpendapat bahwa tidur di masjid tidak dilarang. Bahkan Rasulullah sendiri mencontohkan sikap penuh kelembutan terhadap orang yang beristirahat di rumah Allah.
Selain Ali, sahabat Abdullah bin Umar juga dikenal sering tidur di masjid ketika masih kecil dan remaja. Hal itu menunjukkan bahwa di masa Rasulullah SAW, masjid memang terbuka untuk siapa saja — tua, muda, kaya, miskin, bahkan musafir yang tidak punya tempat berteduh. Dalam pandangan mayoritas ulama mazhab, tidur di masjid itu boleh, bahkan bagi orang yang punya rumah, selama dilakukan dengan adab dan tidak mengganggu jamaah lain.
Masjid semestinya menjadi tempat yang menenangkan, bukan menegangkan. Bukan ruang yang membuat orang takut datang karena khawatir ditegur pengurus atau dijadikan tempat eksklusif untuk kalangan tertentu saja.
Jadi, yuk, mulai sekarang kita ubah cara pandang terhadap masjid. Buka kembali pintu-pintu masjid, dan sambut siapa pun yang datang dengan senyum. Jadikan masjid bukan cuma indah dilihat, tapi juga hangat dirasakan. Karena sejatinya, rumah Allah seharusnya ramah bagi semua, bukan hanya untuk segelintir orang. Mari wujudkan masjid yang bukan cuma megah, tapi juga penuh cinta, terbuka, dan menenangkan hati setiap orang yang memasukinya.***


No comments