Cerpen Sepotong Kisah di Balik Buku Diary

Ilustrasi cover cerpen sepotong kisah di balik buku diary. dok. Chat GPT AI

Kisah cinta suci Alisah dan Hasan di pesantren, terjalin lewat pertukaran diary dan doa-doa dalam diam.

Angin sore berhembus lembut melewati pepohonan di halaman pesantren. Di kejauhan, suara adzan Asar menggema, menggiring para santri menuju musholah. Di antara kerumunan itu, langkah pelan seorang gadis bernama Alisah tampak menurun di tangga asrama putri. Di tangannya, tergenggam sebuah buku bersampul cokelat lusuh — diary kesayangannya.

Di sisi lain halaman, Hasan, santri kelas akhir, juga melangkah ke arah musholah dengan wajah tenang. Sejak beberapa bulan terakhir, keduanya menjalin kedekatan yang tak pernah benar-benar terucap, tapi terasa di setiap tatapan dan senyum singkat yang mereka saling bagi.

Mereka tidak pernah berbicara lama. Hanya beberapa menit di sela kelas tafsir atau selepas jamaah, cukup untuk membuat hati mereka berdegup tak karuan.

Namun yang membuat hubungan mereka istimewa bukanlah pertemuan-pertemuan singkat itu, melainkan pertukaran buku diary yang mereka lakukan diam-diam.

Sore itu, setelah jamaah selesai, Hasan berdiri di dekat rak kitab di musholah. Ia pura-pura mencari buku, padahal matanya melirik ke arah Alisah yang sedang menata mukena. Di bawah rak, sebuah celah kecil telah mereka sepakati sebagai tempat rahasia — tempat mereka saling menitipkan isi hati.

Hasan menunduk, memasukkan buku biru miliknya ke celah itu, lalu beranjak pergi. Tak lama setelahnya, Alisah datang, memungut buku itu, menyelipkannya ke dalam jilbab lebarnya, dan berlalu seolah tak terjadi apa-apa.

Di kamarnya malam itu, Alisah membuka buku itu dengan hati berdebar. Tulisan tangan Hasan yang rapi dan tegas menari di atas kertas: "Assalamu’alaikum, Alisah. Hari ini aku melihatmu di kelas tafsir, dan entah kenapa, caramu mendengarkan ustaz membuatku merasa tenang. Aku tahu, cinta di tempat seperti ini bukan hal mudah. Tapi aku tak bisa menipu perasaan. Aku ingin terus mengenalmu, dalam batas yang Allah izinkan."

Alisah tersenyum. Jemarinya menyentuh halaman itu pelan, seolah merasakan kehadiran Hasan lewat setiap huruf. Ia kemudian menulis balasan di diary-nya sendiri: "Wa’alaikumussalam, Hasan. Aku membaca tulisanmu dengan hati yang bergetar. Aku juga merasakan hal yang sama. Tapi seperti katamu, cinta ini harus tetap suci. Biarlah kita saling mendoakan, tanpa melanggar batas yang telah ditetapkan."

Keesokan harinya, saat pelajaran fiqih, Alisah dan Hasan duduk di kelas yang sama. Mereka tidak saling bicara, hanya saling bertukar pandang sekilas — cukup untuk membuat keduanya tersenyum malu.

Usai pelajaran, di koridor yang sepi, Alisah menaruh buku bersampul cokelat itu di rak kayu tua dekat jendela. Beberapa menit kemudian, Hasan datang mengambilnya. Begitulah rutinitas mereka — sederhana, sunyi, tapi penuh makna.

Hari-hari berlalu, isi buku diary mereka semakin dalam. Kadang berisi cerita keseharian di pesantren, kadang renungan keagamaan, dan tak jarang juga doa-doa kecil yang ditujukan satu sama lain.

Suatu kali, Hasan menulis: "Alisah, aku bermimpi suatu hari nanti kita bisa bertemu di luar pesantren, bukan sebagai dua santri yang saling menyembunyikan perasaan, tapi sebagai dua insan yang sudah halal saling menatap. Jika Allah berkehendak, aku akan datang menemui orang tuamu."

Membaca itu, air mata menetes di pipi Alisah. Ia menulis balasan yang lembut: "Hasan, aku tidak tahu masa depan akan seperti apa. Tapi aku percaya, jika niat kita baik, Allah akan mempertemukan kita dengan cara-Nya. Aku akan terus menulis di sini, sampai suatu hari nanti, kau yang membaca langsung dari hatiku."

Namun, tidak semua rahasia bisa selamanya tersembunyi.

Suatu malam, saat pengasuh asrama putri melakukan razia mendadak, salah satu santriwati menemukan buku diary di bawah bantal Alisah. Tanpa tahu isinya, buku itu diserahkan kepada ustazah penjaga.

Keesokan harinya, Alisah dipanggil ke ruang ustazah.

“Alisah, ini bukumu?” tanya Ustazah Halimah dengan nada tenang tapi tajam.

Alisah menunduk, “Iya, Ustazah.”

“Isinya... tulisanmu dengan seorang santri laki-laki bernama Hasan?”

Wajah Alisah memucat. “Iya, tapi kami tidak—”

“Cukup,” potong Ustazah Halimah. “Aku sudah membaca sebagian. Kalian memang tidak berbuat hal yang melanggar, tapi ini tetap tidak pantas dilakukan di pesantren.”

Air mata Alisah jatuh tanpa bisa ditahan. “Maaf, Ustazah... kami hanya saling menulis... bukan untuk hal buruk.”

Ustazah menarik napas panjang. “Aku tahu. Tapi aturan tetaplah aturan. Aku akan memanggil Hasan juga nanti sore.”

Sore itu, Hasan duduk di depan pengasuh pesantren putra. Wajahnya tegang, namun ia tidak berusaha mengelak.

“Hasan,” ujar Pak Ustaz lembut, “apa kau tahu bahwa cinta bukan sesuatu yang dilarang, tapi juga bukan sesuatu yang bisa kau rawat dengan cara sembunyi?”

Hasan menunduk. “Saya tahu, Ustaz. Kami hanya ingin saling menyemangati lewat tulisan. Kami tidak pernah melanggar batas.”

Pak Ustaz menatapnya lama, lalu berkata, “Kalau begitu, tunjukkan rasa cintamu dengan cara yang benar. Fokuslah dulu pada ilmu. Jika memang jodoh, Allah akan mempertemukan kalian kelak.”

Hasan mengangguk, matanya berkaca-kaca.

Setelah kejadian itu, pertukaran diary berhenti. Rak kayu tempat mereka biasa menitipkan buku kini kosong. Hari-hari terasa lebih sunyi bagi keduanya.

Namun, pada suatu sore menjelang kelulusan, Alisah menemukan sebuah amplop kecil di rak musholah — tulisan tangan yang sangat ia kenal: “Untuk Alisah, terakhir kalinya.”

Ia membuka amplop itu dengan hati bergetar. Di dalamnya, ada selembar kertas dan sebuah kalimat pendek: "Terima kasih karena pernah menjadi alasan aku bersemangat menuntut ilmu. Setelah ini, aku akan melanjutkan kuliah di Yogyakarta. Doakan aku, seperti aku akan selalu mendoakanmu."

Di bawahnya, terselip kutipan ayat: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan supaya kamu merasa tenteram kepadanya.” (QS Ar-Rum: 21)

Alisah menutup surat itu dengan senyum dan air mata bersamaan. Ia tahu, cinta mereka tak akan mudah. Tapi ia juga tahu, cinta yang tumbuh di pesantren tak pernah benar-benar padam — hanya menunggu waktu untuk tumbuh kembali dalam restu Ilahi.

Sejak hari itu, ia tak lagi menulis untuk Hasan di diary-nya. Tapi setiap kali membuka halaman kosong, ia selalu menulis satu kalimat yang sama: “Aku percaya, cinta yang dijaga dengan doa akan menemukan jalannya pulang.” ***

Baca Juga

No comments

Theme images by Leontura. Powered by Blogger.